Takdir Allah Ta’ala di Dalam Ciptaan-Nya


Allah swt. adalah Zat yang Maha Merajai seluruh alam semesta. Dia mengatur segala sesuatu yang ada di dalam kerajaan-Nya dengan kebijaksanaan dan kehendak-Nya sendiri. Maka dari itu apa saja yang terjadi di alam semesta ini, semuanya berjalan sesuai dengan kehendak yang telah direncanakan sejak semula oleh Allah Taala dan juga mengikuti peraturan-peraturan yang telah ditetapkan dalam alam yang maujud ini.

Allah Taala berfirman, “Segala sesuatu itu di sisi Allah adalah dengan ketentuan takdir.” (Q.S. Ar-Ra’d:8)

Jadi Allah swt. itu tidak menanggung sesuatu kewajiban apa pun dan tidak pula mengaturnya itu karena mengikuti dorongan kemauan atau perintah siapa pun juga.

Allah Taala berfirman, “Katakanlah! ‘Ya Allah Yang Maha Memiliki kerajaan! Engkau memberikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki, Engkau mencabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki, Engkau memuliakan orang yang Engkau kehendaki dan merendahkan orang yang Engkau kehendaki. Dalam kekuasaan-Mulah segala kebaikan, sesungguhnya Engkau adalah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam, Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup dan Engkau memberikan rezeki kepada orang yang Engkau kehendaki tanpa perhitungan.’” (Q.S. Ali Imran:26-27)

Makna dari ayat yang tercantum di atas ialah bahwa Allah Taala memerintahkan kepada Rasul-Nya supaya diberitahukan kepada seluruh umat manusia hal-hal di bawah ini:

a. Allah swt. adalah Maharaja yang sebenar-benarnya yang berhak menguasai seluruh kerajaan dalam alam semesta ini.
b. Dia berhak mengaruniakan kerajaan atau kekuasaan memerintah itu kepada siapa saja yang dikehendaki.
c. Dia berhak pula mencabut kerajaan atau kekuasaan itu dari siapa saja yang dikehendaki.
d. Baik memberi atau mencabut itu adalah dengan dasar sunatullah yang berlaku dalam hal memberi atau mengambil kembali.
e. Dia berhak memuliakan siapa saja yang dikehendaki dengan jalan memberikan pertolongan kepadanya untuk mencapai kemuliaan itu setelah mengerjakan sebab-sebab yang dapat digunakan untuk memperolehnya.
f. Dia berhak merendahkan siapa saja yang dikehendaki dengan menakdirkan ia menjadi orang yang hina dina.
g. Juga di dalam kekuasaan Allah Taala pula terletak segala kebaikan atau keburukan.
h. Dia berhak memberi dan mengambil kembali, berhak memberikan kemuliaan dan kehinaan, juga berhak memberikan manfaat atau mudarat kepada siapa saja yang dikehendaki oleh-Nya, sebab Dia memang Maha Kuasa untuk melakukan segala sesuatu itu sesuai dengan kehendak yang telah ditetapkan.  
i. Bahwa sebagai tanda kekuasaan Allah Taala ialah apa yang dapat disaksikan di alam semesta ini yakni dengan adanya waktu yang berganti-gantian, malam dimasukkan dalam siang dan siang dimasukkan dalam malam, dari yang mati dikeluarkan makhluk yang hidup dan dari yang hidup dikeluarkan makhluk yang mati.
j. Bahwa Allah Taala berhak melimpahkan rezeki sebanyak-banyaknya kepada siapa saja yang dikehendaki tanpa ada perhitungan sama sekali, juga tanpa penyelidikan dan lain-lain, sebab segala urusan itu hanyalah dalam kekuasaan-Nya sendiri saja secara mutlak, tiada sekutu yang berupa apa pun yang berhak mencampuri wewenang-Nya itu. Ringkasnya dari semua itu ialah supaya dimaklumi oleh seluruh umat manusia bahwa Allah swt. adalah Maha Pembuat yang bebas.

Allah Taala berfirman, “Dan Tuhanmu itu menciptakan apa yang dikehendaki dan dipilih-Nya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka.” (Q.S. Al-Qashash:68)

Jadi Allah Taala yang menciptakan dan oleh sebab itu bebas pula memilih siapa pun dari makhluk-Nya sesuai dengan apa yang telah Dia kehendaki, sebab memang Dia adalah pengatur secara mutlak, tidak seorang pun yang memiliki hak untuk memilih yang sesuai dengan kehendak-Nya sendiri.

Allah Taala berfirman, “Jika Allah menimpakan bahaya kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya selain dari Dia dan jika Allah menghendaki kebaikan untukmu, maka tidak ada yang dapat menghalang-halangi karunia-Nya. Kebaikan itu diberikan oleh-Nya kepada orang yang dikehendaki dari hamba-hamba-Nya. Dia adalah Maha Pengampun dan Penyayang.” (Q.S. Yunus:107)

Jelaslah, dari ayat di atas itu bahwa Allah Taala mengatur dalam lingkungan kerajaan-Nya ini, menurut kehendak-Nya sendiri dengan mengikuti dasar kebijaksanaan dan rahmat. Ini adalah hak-Nya yang mutlak, tidak dapat diganggu gugat. Oleh karena itu, apabila seseorang tertimpa bencana, pasti tidak ada yang dapat menyelamatkannya selain Allah Taala. Tetapi sebaliknya apabila Allah Taala menghendaki seseorang memperoleh kebaikan, juga tidak seorang pun yang dapat menghalang-halangi atau menolaknya.

Allah Taala berfirman, “Apa saja yang berupa rahmat yang dianugerahkan oleh Allah kepada manusia, maka tidak seorang pun yang dapat menghambat dan apa saja yang ditahan oleh Allah, maka tidak seorang pun yang dapat melepaskannya, selain dari Dia sendiri. Allah adalah Maha Mulia dan Bijaksana.” (Q.S. Fathir:2)

Lagi firman-Nya, “Bagi Allah adalah segenap apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Jika kamu semua memperlihatkan apa-apa yang ada di dalam hatimu atau kamu semua menyembunyikannya, niscaya Allah akan memperhitungkan itu semua pada dirimu. Maka dari itu Allah mengampuni orang yang dikehendaki dan menyiksa orang yang dikehendaki pula. Allah adalah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Q.S. Al-Baqarah:284)

Bukankah sudah terang sebagaimana yang tercantum dalam ayat di atas bahwa seluruh kerajaan langit dan bumi ini adalah milik Allah swt. semata-mata. Dia Yang Maha Esa. Terang pula bahwa segala sesuatu yang oleh manusia itu ditampakkan secara terang-terangan, atau yang disembunyikan rapat-rapat atau apa saja yang dikandung dalam sanubarinya yang berupa niat, kehendak, kemauan, tujuan dan lain-lain, semuanya itu pasti akan diperhitungkan oleh Allah Taala, seluruhnya akan dihisab nanti pada hari kiamat. Jika baik, tentu akan diberi balasan baik dan jika buruk, maka akan diberi balasan buruk pula. Tetapi sementara itu, Allah Taala juga akan mengampuni siapa yang dikehendaki oleh-Nya untuk diampuni. Tentang siapa yang dikehendaki akan memperoleh pengampunan ini, oleh Allah Taala dijelaskan dalam ayat lain, yaitu, “Dan sesungguhnya Aku pastilah Maha Pengampun kepada orang yang bertobat, beriman serta beramal saleh kemudian suka pula menerima petunjuk yang baik.” (Q.S. Thaha:82)

Jadi pengampunan Allah Taala tidaklah diterapkan kepada sembarang orang saja, tetapi diberinya syarat-syarat, misalnya orang itu haruslah bertobat yakni kembali menghadap ke hadirat Allah dengan menyatakan kesalahan dirinya lalu mengikrarkan suatu tobat nasuha dan tidak akan mengulangi lagi kemaksiatan yang sudah itu. Selain itu harus pula ia memperbaharui keimanannya kepada Allah Taala, lalu diikuti pula dengan berbuat amal-amal saleh yang dapat melenyapkan segala keburukan yang pernah dilakukan. Dengan melaksanakan semua itu, akan dicapai suatu tingkat yang luhur yaitu memperoleh petunjuk yang dapat menenteramkan kalbu sebab merasa bahwa itulah yang hak, benar dan diyakininya secara pasti. Sebagai kebalikannya ialah bahwa siksa Allah Taala akan diturunkan kepada orang-orang yang melakukan kemaksiatan yang berhak untuk memperoleh siksa tersebut dan ini pun berlandaskan pula dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku sesuai dengan keadilan Ilahi. Jadi setiap amal perbuatan itu akan memperoleh balasan yang setimpal.

Mempercayai persoalan-persoalan sebagaimana di atas itu adalah sebagian dari keimanan kepada Allah Taala dan dari situlah bercabang keimanan terhadap takdir.

MAKNA KADAR ATAU TAKDIR

Dalam Alquran berkali-kali disebutkan masalah kadar atau takdir itu, seperti:

a. Segala sesuatu terlaksana dengan takdir Tuhan, “Dan segala sesuatu itu di sisi Tuhan adalah dengan ketentuan takdir.” (Q.S. Ar-Ra’d:8)
b. Segala sesuatu dalam perbendaharaan takdir Tuhan, “Dan tidak ada sesuatu apa pun, melainkan di sisi Kamilah perbendaharaannya dan Kami turunkan itu dengan takdir yang dipastikan.” (Q.S. Al-Hijr:21)
c. Segala sesuatu diciptakan dengan takdir, “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu idengan takdir.” (Q.S. Al-Qamar:49)

Yang dapat diambil kesimpulan dari ayat-ayat yang tertera di atas itu bahwa maksud dan makna kadar atau takdir itu ialah suatu peraturan yang tertentu yang telah dibuat oleh Allah swt. untuk segala yang ada dalam alam semesta yang maujud ini. Jadi peraturan-peraturan tersebut adalah yang merupakan undang-undang umum atau kepastian-kepastian yang diikatkan di dalamnya antara sebab dengan musabbabnya, juga antara sebab dan akibatnya.

Imam Nawawi memberikan definisi takdir itu dan berkata, “Sesungguhnya segala sesuatu yang maujud ini oleh Allah Taala sudah digariskan sejak zaman qidam dahulu. Dia Maha Mengetahui apa saja yang akan terjadi atas segala sesuatu tadi dalam waktu-waktu yang telah ditentukan, sesuai dengan garis yang ditetapkan-Nya. Jadi terjadinya itu nanti pasti akan cocok menurut sifat-sifat dan keadaannya yang khusus tepat seperti yang digariskan oleh Allah swt. itu.”

KEWAJIBAN BERIMAN KEPADA TAKDIR

Dalam hadis sahih disebutkan dari Rasulullah saw. bahwa beriman dengan takdir adalah satu bagian dari akidah. Umar bin Khattab r.a. menceritakan bahwa pada suatu ketika Rasulullah saw. didatangi oleh seorang lelaki yang pakaiannya serba putih, rambutnya sangat hitam, bekas perjalanannya tidak terlihat dan tidak seorang dari para sahabat yang hadir di situ yang mengenalnya, lalu ia mengemukakan beberapa pertanyaan. Selain perihal rukun-rukun Islam, juga rukun-rukun iman dan ihsan. Mengenai rukun-rukun keimanan ini, ia berkata, “Beritahukanlah saya tentang hal keimanan.” Rasulullah saw. lalu menjawab, “Hendaklah engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitabnya, rasul-rasul-Nya, hari akhir dan beriman pula kepada kadar (takdir) yang baik atau pun yang buruk.” Orang tersebut lalu berkata, “Tuan benar.” Diriwayatkan oleh Muslim.

Orang tersebut adalah Jibril yang sengaja datang untuk memberikan pelajaran agama kepada umat beliau dengan jalan soal jawab.

Makna yang gamblang daripada takdir itu ialah bahwa Allah Taala membuat beberapa ketentuan, peraturan dan undang-undang yang diterapkan untuk segala yang maujud ini dan bahwa segala sesuatu yang maujud itu pasti akan berlaku, beredar dan berjalan tepat dan sesuai dengan apa-apa yang telah dipastikan dalam ketentuan peraturan dan undang-undang tadi.

Allah Taala berfirman, “Dan suatu tanda (kekuasaan Allah) untuk mereka itu ialah adanya waktu malam. Kami tanggalkan siang daripadanya, kemudian serta-merta mereka dalam kegelapan. Dan matahari itu berjalan di tempat peredarannya. Itulah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Mengetahui. Juga bulan telah Kami tetapkan tempat-tempatnya sampai kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua (melengkung). Tidak sepatutnya matahari mengejar bulan dan malam tidak dapat mendahului siang. Masing-masing itu berjalan dalam garis edarannya.” (Q.S. Yasin:37-40)

Beriman kepada takdir adalah sebagian dari kepercayaan atau akidah yang ditanamkan benar-benar dalam hati setiap orang muslim. Dalam hal takdir itu tidak ada pengertian paksaan. Imam Khattabi berkata, “Banyak orang yang mengira bahwa arti kada dan kadar adalah pemaksaan yang dilaksanakan oleh Allah Taala kepada hamba-Nya untuk mengikuti apa saja yang telah digariskan menurut ketentuan dan keputusan-Nya. Padahal sebenarnya tidaklah demikian dan salah sekali apa yang mereka sangkakan itu. Yang benar ialah bahwa arti takdir itu adalah suatu pemberitahuan mengenai telah diketahuinya oleh Allah swt. perihal apa yang ada dalam perbuatan setiap orang yang berupa apa pun. Jadi timbulnya itu pun menurut takdir yang ditentukan oleh Allah Taala, sesuai dengan asli penciptaannya yakni tentang buruk atau baiknya

Ringkasnya, takdir itu adalah sebagai nama untuk sesuatu yang timbul yang ditentukan dari perbuatan Zat yang Maha Menentukan’. Dengan demikian, dapat kita maklumi bahwa Allah swt. itu pasti Maha Mengetahui apa-apa yang akan terjadi dan terlaksananya kejadian itu nanti pasti cocok sebagaimana yang telah diketahui dalam ilmu Tuhan itu. Tetapi sama sekali pengetahuan Tuhan tadi tidaklah akan memberi bekas apa pun pada kehendak seseorang hamba, karena mengetahui itu adalah sifat penyingkapan sesuatu, bukannya suatu sifat yang memberikan kesan, bekas atau pengaruh. Sebagai contoh ialah seseorang ayah yang mengetahui bahwa anaknya itu pandai, cerdik dan cerdas otaknya, giat dalam mempelajari semua pelajarannya dan berusaha keras untuk menghafal dan memahaminya. Pengetahuan semacam ini belum tentu akan memberi kebahagiaan atau kelulusannya kepada anak itu dalam menempuh ujian. Demikian sebagai misal yang mudah kita mengerti.

HIKMAH BERIMAN KEPADA TAKDIR

Adapun hikmah beriman kepada takdir ialah supaya kekuatan dan kecakapan manusia itu dapat mencapai kepada pengertian untuk menyadari adanya peraturan dan ketentuan-ketentuan Tuhan, kemudian dilaksanakan untuk membina dan membangun dengan bersendikan itu, juga untuk mengeluarkan harta benda yang terdapat dalam perbendaharaan bumi agar dapat diambil manfaatnya. Selain itu agar dapat diolah pula segala kebaikan yang dapat digali dari benda-benda yang terdapat dalam alam semesta ini.

Dengan demikian maka keimanan kepada takdir itu adalah merupakan suatu kekuatan yang dapat membangkitkan giat bekerja dan gairah berusaha, malah dapat merupakan dorongan yang positif untuk memperoleh kehidupan yang layak dan pantas di dunia ini, sebagaimana juga halnya keimanan kepada takdir itu akan menghubungkan manusia ini dengan Tuhan Yang Maha Menguasai seluruh yang maujud ini. Demikianlah sehingga manusia itu akan dapat mengangkat dirinya kepada sifat-sifat yang luhur dan mulia. Akhirnya ia akan menjadi seorang yang enggan diperintah tabah menghadapi kesukaran, berani membela yang hak, berhati baja untuk merealisasikan hal-hal yang benar serta mengemban segala kewajiban yang dipikulkan kepadanya.

Beriman kepada takdir akan memberikan pelajaran kepada manusia bahwa segala sesuatu yang ada dalam alam semesta ini hanyalah berjalan sesuai dengan kebijaksanaan yang telah digariskan oleh Zat Yang Maha Tinggi. Oleh sebab itu, jika ia tertimpa kemudaratan, ia pun tidak akan menyesal, tetapi sebaliknya jika ia dilimpahi pertolongan dan keuntungan, ia pun tidak bergembira sehingga lupa daratan. Manakala seseorang itu sudah tidak bersifat kedua hal di atas yakni tidak menyesal, lemah atau lumpuh karena timbulnya keburukan yang tidak diharapkan, juga tidak gembira yang melampaui batas karena mendapat pertolongan dan keuntungan, maka itulah seorang manusia yang lurus, terpuji, dapat mencapai arah keluhuran dan ketinggian yang teratas sekali.

Inilah yang dituju dalam arti firman Allah swt., “Tidak ada suatu musibah (bencana) yang terjadi di bumi atau yang mengenai dirimu semua itu melainkan telah tercantum dalam kitab catatan sebelum Kami laksanakan terjadinya. Sesungguhnya hal yang sedemikian itu bagi Allah adalah suatu hal yang mudah sekali. Perlunya ialah supaya kamu semua tidak berduka-cita terhadap apa yang lepas dari tanganmu dan tidak pula bangga terhadap apa yang diberikan oleh Allah padamu. Allah tidak mencintai setiap orang yang sombong serta membanggakan diri sendiri.” (Q.S. Al-Hadid:22-23)

Pengertian sebagaimana di atas itulah yang wajib kita insafi untuk memahami makna takdir itu. Itulah pengertian yang dikemukakan sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasulullah saw., juga seperti itulah yang dipahami oleh para sahabatnya.

Pada suatu hari Rasulullah saw. masuk ke rumah Ali r.a. seusai salat isyak. Saat itu dilihat menantunya sudah masuk tidur dan terlalu awal sekali. Beliau lalu bersabda, “Alangkah baiknya kalau kamu bangun dari sebagian waktu malam (untuk salat sunah).” Ali r.a. menjawab, “Ya Rasulullah, diri kita semua ini adalah dalam genggaman kekuasaan Allah. Jika Tuhan menghendakinya tentu Dia limpahkan rahmat-Nya dan jika tidak, tentu Dia tarik kembali.” Mendengar jawaban itu Rasulullah saw. marah. Beliau lalu keluar sambil memukul-mukul pahanya dan bersabda, “Sungguh manusia itu amat banyak sekali membantah.”

Pernah pula terjadi di zaman pemerintahan Khalifah Umar r.a., suatu pencurian, setelah pencuri itu tertangkap dan dibawa ke hadapan Umar r.a. lalu ditanya, “Mengapa engkau mencuri?” Pencuri itu menjawa, “Memang Allah sudah menakdirkan demikian atas diriku.” Marah sekali beliau mendengar jawaban orang itu, kemudian dia berkata , “Pukul saja orang itu tiga puluh kali dengan cemeti, setelah itu potong tangannya!” Orang-orang yang ada di situ bertanya, “Mengapa hukumannya diperberat seperti itu?” Beliau menjawab, “Ya, itulah yang tepat. Ia wajib dipotong tangannya sebab mencuri dan wajib dipukul karena berdusta atas nama Tuhan.”

Melihat dua kejadian di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa takdir itu sama sekali tidak boleh dianggap sebagai jalan untuk bertawakal yang tidak sewajarnya, tidak boleh pula dijadikan sebab untuk melakukan kemaksiatan, bahkan tidak boleh diartikan sebagai suatu paksaan Tuhan kepada seseorang hamba-Nya tetapi bahkan sebaliknya yaitu bahwa takdir harus dianggap sebagai jalan untuk mewujudkan tujuan atau cita-cita yang besar dari sekian banyak macam amal perbuatan yang besar pula. Dari situ dapat pula diambil kenyataan bahwa takdir, dapat ditolak dengan takdir, misalnya ialah adanya takdir rasa lapar, maka ini dapat dilawan dengan takdir makan, takdir rasa dahaga dilawan dengan takdir minum sampai puas, takdir sakit dilawan dengan takdir pengobatan diri sampai sehat kembali dan takdir malas dilawan dengan takdir giat serta gairah bekerja.


Abu Ubaidah bin Jarrah r.a. pernah bertanya kepada Umar r.a. sewaktu Umar r.a. lari dari penyakit taun, katanya, “Mengapa Tuan lari dari takdir Tuhan?” Umar r.a. menjawab, “Betul, saya memang lari dari takdir Allah untuk pergi ke takdir Allah pula.” Yang dimaksudkan ialah bahwa beliau itu menghindar dari takdir terjangkiti penyakit dan marabahaya untuk pergi ke takdir tetap sehat walafiat. Selanjutnya dia membuat suatu perumpamaan sebagai suatu tanah yang tandus dan tanah yang subur. Artinya ialah apabila seseorang itu berpindah dari tanah yang tandus ke tanah yang subur, agar di situ dapat menggembala untanya, maka berarti ia berpindah dari suatu takdir dan pergi ke takdir lain.

Sebenarnya dapat saja Rasulullah saw. dan para sahabat berdiam diri untuk tidak mengelakkan bahaya yang dihadapi, sebagaimana berdiamnya kaum lemah yang sudah berputus-asa dan tidak berdaya, serta membuat-buat alasan dengan menggunakan cara pemahaman yang salah yang biasa digunakan oleh orang yang sudah tidak punya tenaga apa-apa tetapi Rasulullah saw. tidak suka berbuat sedemikian. Beliau merasa berkewajiban untuk menyingkapkan tabir sehingga akan tampak jelas arah yang benar. Oleh sebab itu tidak ada rasa kerendahan atau kelemahan yang menimpa pada dirinya. Beliau malah meminta pertolongan dengan takdir untuk merealisasi risalahnya yang besar itu, dengan terus menetapi sunatullah untuk memberikan pertolongan pada hamba-hamba-Nya.

Dengan bersendikan pengertian yang benar sebagaimana di atas, lalu dilawanlah kemiskinan dengan berusaha keras dan bekerja giat, kebodohan dilenyapkan dengan menuntut ilmu pengetahuan, penyakit dengan pengobatan, kekafiran dan kemaksiatan dengan jihad dan lebih dari itu lagi apa yang dilakukan oleh Nabi saw. yaitu selalu memohon perlindungan kepada Tuhan agar dijauhkan dari malapetaka, kesedihan, kesusahan, kelemahan, kemalasan dan lain-lain.

Peperangan-peperangan yang dilakukan oleh Rasulullah saw. yang banyak mendapatkan kemenangan yang gilang-gemilang itu, tidak lain hanya sebagai salah satu kenyataan dari iradah atau kehendak Allah Taala yang tertinggi yang semuanya itu berjalan sesuai dengan kemauan dan takdir-Nya yang tercantum sejak zaman azali. Tidak sekali dua kali Rasulullah saw. memperingatkan sekalian umatnya agar tidak mempunyai pengertian yang salah terhadap takdir itu. Beliau selalu menganjurkan supaya membetulkan serta menangkis orang yang berpendapat salah mengenai hal itu.

Diriwayatkan oleh Jabir r.a. dari Rasulullah saw., sabdanya, “Pada akhir zaman nanti akan ada suatu golongan yang berbuat kemaksiatan, kemudian mereka berkata, ‘Allah menakdirkan perbuatan itu kita lakukan.’ Orang yang menentang pendapat mereka (yang salah) pada zaman itu adalah bagaikan orang yang menghunus pedangnya di jalan Allah.”

Itulah takdir yang seyogianya kita maklumi makna dan pengertiannya. Adapun segala sesuatu yang ada di balik pengertian takdir yang semacam di atas itu, maka sama sekali kita tidak boleh permasalahkan atau pun berselisih pendapat perihal itu, sebab yang sedemikian itu termasuk dalam rahasia Allah Taala yang pasti tidak dapat dicapai oleh akal pikiran dan tidak pula dapat diselidiki oleh siapa pun juga.


Huraian di atas itu adalah berdasarkan pada sebuah hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., katanya, “Pada suatu ketika Rasulullah saw. datang di tempat kita dan kita pada waktu itu sedang memperselisihkan persoalan takdir. Setelah Nabi saw. mengetahui apa yang sedang diperselisihkan, tampak sekali kemarahannya sehingga wajahnya merah padam. Lalu beliau bersabda, ‘Adakah dengan cara demikian itu aku ini diutus padamu semua? Sebenarnya yang menyebabkan orang-orang yang sebelummu itu menjadi rusak binasa keyakinannya ialah ketika mereka memperselisihkan persoalan ini. Aku berharap supaya kamu semua tidak memperselisihkan lagi hal semacam itu.’”

Oleh sebab itu Abu Hurairah r.a. setiap kali ditanya mengenai hal yang pelik dan sangat mendalam perihal takdir, ia selalu mengucapkan, “Itu adalah suatu jalan gelap, maka jangan saudara lalui.” Jika masih juga dipaksa untuk menerangkannya, maka dijawab dengan ucapan, “Itu adalah suatu lautan yang amat dalam, janganlah saudara terjun ke dalamnya.” Jika masih juga meneruskan pertanyaannya, lalu dia jawab, “Itu adalah rahasia yang dimiliki oleh Allah Taala, maka jangan coba menyingkapnya.”

Pencegahan semacam ini hanyalah dilakukan terhadap sesuatu pertanyaan yang berhubungan langsung dengan ketentuan Allah Taala dalam cara mengatur perihal kehidupan atau kematian, kelapangan rezeki atau kesempitannya dan lain-lain, jadi bukan sekali-kali mengenai persoalan takdir itu sendiri.

Wallahua’alam.

Comments

Popular posts from this blog

Kitab-kitab Ibrahim dan Musa

12 Jenis Doa Iftitah